Putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Surat Keputusan KPU Kota Depok tentang penetapan 4 pasang peserta pilkada dinilai Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak bisa dieksekusi. Sebab Wali Kota Depok terpilih sudah dilantik dan menjabat hingga 2015.
Dalam rezim administrasi pilkada, seseorang bisa dilantik menjadi kepala daerah dengan asumsi proses administrasi telah benar. Ketika ditemukan kesalahan administrasi pilkada di belakang hari, maka kesalahan tersebut tidak bisa mengubah keputusan pengangkatan kepala daerah.
“Sebab pilkada itu berakhir setelah kepala daerah dilantik. Hal-hal administrasi seperti penetapan calon dan lain-lain maka dianggap benar,” ungkap penyandang gelar profesor ini.
Hal ini diakui Kemendagri sebagai kelemahan UU Pemilukada yaitu tidak ada proses penyelesaian hukum secara cepat. Saat ini Kemendagri sedang menggodok revisi UU Pemilukada dengan proses hukum yang cepat dan final. “Cukup dalam hitungan hari dan putusannya final di tingkat pertama. Tidak ada upaya hukum lain,” ujar Zudan.
Temuan proses pilkada yang bisa menghentikan kepala daerah hanyalah temuan kasus pidana. Seperti ijazah palsu dan sebagainya. “Kalau mazhab pidana kan beda. Kalau yang ini mazhabnya hukum administrasi,” tandas Zudan.
Seperti diketahui, kasus bermula seiring keluarnya SK tertanggal 24 Agustus 2010 yang menetapkan 4 pasangan calon Wali Kota Depok. Mereka yaitu pasangan nomor urut 1 Gagah Sumantri-Dery Drajat, pasangan nomor urut 2 Yuyun Wirasaputra-Pradi Supriyatna, pasangan nomor urut 3 Nur Mahmudi Ismail-Idris Abdul Somad serta pasangan nomor urut 4 Badrul Kamal-Supriyanto.
Pilkada Kota Depok akhirnya dimenangkan oleh pasangan Nur Mahmudi-Idris setelah mengumpulkan 41,02 persen suara dari seluruh warga Depok yang menggunakan hak pilih.
Belakangan, keputusan KPU Kota Depok ini digugat ke pengadilan oleh pasangan yang gagal ikut pilkada. Gugatan ini dikabulkan oleh PTUN Jakarta, PT TUN Bandung dan MA dengan membatalkan SK KPU Kota Depok tersebut.
(Sumber: detik.com)