ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ia tak mati-mati
Inilah puisi jalanan, puisi ngamen,
puisi yang tidak butuh legitimasi
dari dewan kesenian,
WTW, 7/9/87
di sekolah Menengah Karawitan Indonesia, sampai putus sekolah pada tahun 1980. Di Solo, Thukul dibesarkan di sebuah kampung miskin yang sebagian besar penghuninya hidup dari menarik becak. Ketika itu bis kota mulai menguasai jalanan, mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan bagi para tukang becak yang penghasilannya semakin merosot. Berapapun tambahan penghasilan dari anak istri bias sangat penting artinya. Rentenirpun telah menjadi pengunjung tetap yang kedatanganya selalu menggelisahkan para penghuni kampong.
Semenjak putus sekolah, Thukul mencari nafkahnya sendiri melalui berbagai pekerjaan tidak tetap. Dia pernah mejadi tukang Koran, tukang semir mebel di suatu perusahaan kecil di kampung, maupun buruh harian. Selain itu dia pun membaca puisi secara ngamen keluar masuk kampung, kadang-kadang diiringi musik gamelan. Keterlibatan Thukul dalam teater dan kesenian di Sala dan Jawa Tengah sangatlah luas. Dia pernah mengambil bagian dalam pembacaan puisi di Monumen Pers Surakarta, Pusat Kesenian Jawa Tengah, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Yayasan Hatta di Yogyakarta serta radio PTPN. Sajak-sajaknya secara teratur muncul diberbagai majalah dan surat kabar, dan pada tahun 1984 kumpulan sajaknya berjudul Puisi Pelo diterbitkan dalam bentuk stensilan oleh Taman Budaya Surakarta. Stensilan berikutnya Darman dan lain-lain telah pula diterbitkan, selain sajak-sajaknya pun muncul dalam Antalogi 4 Penyair Solo. Kumpulan terbaru Thukul berjudul Suara. Dia memproduksi sendiri bulan Juli 1987 dalam bentuk fotokopi yang dikomentarinya: “Aku sedang belajar untuk tidak tergantung pada lembaga-lembaga kesenian resmi.”Kegiatan Thukul dalam teater dan berbagai bentuk seni panggung telah melibatkannya dalam kelompok topeng pada Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), serta kelompok teater kampong bernama ” Sarang Teater Jagat “. Teater Jagat dibentuk tahun 1978 oleh Cempe Wisesa Laluwarta telah aktif sampai awal 1987. Kegiatannya meliputi ngamen, pementasan di kampong yang melibatkan penduduk setempat , serta pertukaran teater antar kelompok di berbagai kampong lainnya.
Dalam 1987 Thukul terlibat dalam suatu kegiatan yang sama sekali baru baginya. Setiap minggu pagi pada awal tahun itu dia lewatkan dengan melukis bersama dua puluh anak-anak kampungnya, serta sebagai pencerita ulung. Tentang itu dia menjelaskan: “bila mereka lelah, saya bercerita “. Juli tahun itu pula dia ditawari pekerjaan sebagai penyair tamu/mondok (poet in residence ) di Cirebon serta pesisir utara Jawa Barat dengan tugas merekam kehidupan sehari-hari rakyat perkampungan nelayan di sana. Tawaran ini diterimanya dengan antusias. Selain itu ada pula tawaran lain (yang realisasinya tergantung ketersediaan dana) untuk menyelenggarakan loka-karya teater bagi anak-anak kampong di Sukabumi, Jawa Barat, bersama dua orang seniman dari Yogya.
Thukul terbilang luar biasa dalam hal latar belakang kampungnya, dan ketiadaan pendidikan formal ternyata sama sekali tidak menghalangi keterlibatanya yang luas dalam berbagai kegiatan kesenian setempat. Kepercayaan diri serta prestasi yang dicapainya selama ini antara lain berkat persahabatannya dengan Halim HD, budayawan Sala yang pertama mendorongnya untuk membacakan sajak-sajaknya di muka umum, serta terus memerus melibatkannya dalam kegiatan umum seniman Jawa Tengah. Akan tetapi tingkat keterlibatannya ini pun dipengaruhi oleh sikap pribadinya terhadap pendidikan dan pengetahuan. Kita dapat merasakan sikapnya tersebut melalui komentarnya sebagai berikut:
“Di desa tempat saya bekerja, gadis gadisnya rata-rata takut sekali kepada “anak anak sekolah”. Rasa rendah diri mereka kuat sekali. Tapi di kotapun, di kampung saya juga, hal itu menjadi kondisi umum yang merata. Memang penyakit yang sedang menggerogoti dunia saat ini “kelumpuhan mentalitas”. Dalam istilah Paulo Fraire mungkin kelumpuhan mentalitas itulah yang dinamakan sebagai “silence culture”, kebudayaan bisu. Dan obatnya adalah penyadaran. Banyak yang terkejut maupun terhibur oleh pemakaian tradisi ngamen sebagai sarana Thukul membacakan sajak-sajaknya dimuka umum . Walaupun baginya yang penting dalam hal ini (selain sebagai sumber penghasilan yang penting) sangatlah jelas:
Aku keluar masuk kampong -ngamen baca puisi dari pintu ke pintu. Dari rumah ke rumah dari jam lima sore sampai jam sembilan malam. Sendirian.
“…panggungnya” bukan di ‘pentas’ tapi di halaman masyarakat umum’. (jadi lebih majemuk. Bukan cuma kaum peminat sastra seni saja!) Dari ngamen puisi itu aku mendapat input dan kritik langsung dari masyarakat. Bahkan ada yang mengajak berdialog… Dari ngamen puisi itu juga aku mendapat informasi yang tidak mungkin kudapatkan dari siaran resmi radio, Koran maupun televisi, yang kumaksudkan adalah ‘protes-protes terpendam’ ketidakpuasan -ketidakpuasan masyarakat bawah kepada kebijaksanaan -kebijaksanaan pemerintah’ yang jarang diungkapkan tapi ada.
September 1987, Thukul mengambil langkah yang tidak pernah ia tempuh sebelumnya dengan menghadiri acara tahunan Pertemuan Penyair Indonesia di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta sama sekali tanpa maksud untuk mengambil bagian secara resmi, melainkan “Tujuan saya datang ke pertemuan itu adalah untuk ‘mengacau’ dan bicara: inilah puisi jalanan. Puisi namen.” Untuk acara ini Thukul dan Halim HD menyiapkan selebaran berisi lima sajak dalam bahasa Indonesia (Nyanyian Abang Becak, Sajak untuk D, Peringatan dan Sajak Suara) dan satu berbahasa Jawa Geguritan Iki Mung Pengin Kandha (sajak ini hanya ingin bercerita), lengkap dengan pengantar terhadap sajak Thukul terhadap Halim. Selebaran selebaran ini yang Thukul bagi-bagikan (dalam gaya yang mengingatkan kita pada Rendra) sewaktu pembacaan, diberinya judul yang provokatip “Sastra Ngamen-Sastra Gugat”. Lengkap dengan ilustrasi gambar badan terbelenggu dengan kedua tangan berusaha membebaskan diri dari rantai. Pernyataan ini mengandung dua tantangan. Pertama penggunaan istilah “Sastra Ngamen” telah memberikan pengakuan artistik pada karya Thukul serta seniman lain yang pilihan estetikanya tidak sejalan dengan ataupun tidak sesuai dengan kaidah umum yang dianut para seniman lain. Pernyataan ini secara terang terangan menggugat mereka yang berpendapat bahwa kata-kata ‘sastra’ dan ‘ngamen’ (ataupun makna yang diwakilkannya tidaklah mungkin untuk disejajarkan. Tantangan kedua -lebih tegas dan lugas, yaitu gugatan politiknya kepada masyarakat luas.
Bekerja ditingkat paling bawah selalu merupakan titik dimana teori dan praktek kreatip Thukul bertemu. Namun lebih dari sekedar pendekatan, pengalaman hidupnya sendiri bersama kaum miskin kota memang telah mewarnai seluruh karyanya, baik dalam segi estetik maupun isinya. Seluruh karyanya mengandung keaslian yang tidak dapat disangkal, serta ekspresi pribadi keprihatinan sosial yang dalam, yang semata-mata lahir dari pengalaman hidupnya sendiri.
Keprihatinan Thukul yang secara polos dia ungkapkan dalam karya-karyanya meliputi seluruh sisi kehidupan dan pengalaman mereka yan hidup di pinggiran. Ketimpangan sosial, apatisme yang diraksukan dan ketidak-tahuan yang mencekik kaum miskin dan renta, pemberangusan suara buruh yang menuntut perubahan sosial, penindasan sewenang wenang terhadap para pekerja dan aktivis sektor informal, sensor serta perpecahan akibat politik parpol merupakan persoalan-persoalan utama yang senantiasa merebut perhatiannya. Catatan 27.5.86 mengungkapkan penindasan hak hak buruh pekerja murah, telah dia tarik dari pengalaman pribadinya sebagai penjual koran. Penindasan terhadap pekerja sektor informal pedagang kaki lima, tukang becak serta pelacur yang hidupnya tidak pernah lepas dari perjuangan menghadapi arus masyarakat industri yang semakin materialistik, merupakan fokus dari puisinya seperti Sajak setumbu nasi sepanci sayur dan Nggladag Slamet Riyadi. Keganasan yang inheren dalam masyarakat industri sebagaimana dirasakan oleh anggota terlemah, merupakan tema puisinya Sajak anak-anak kita dan Kota ini milik kalian. Catatan hari ini melukiskan- melalui baris-baris pendek, kesulitan penduduk kampung serta pernyataan pribadi Thukul akan peran yang dimainkan oleh kesenian dalam situasi demikian. Sebuah perkembangan ide menarik dalam puisinya dapat dijumpai dalam Kepada Wiyono yang membahas secara meluas dan terinci ekonomi dan psikologi kehidupan kampung. Mundurnya budaya tradisional (terutama budayanya kaum miskin perkotaan serta penduduk pedesaan di Indonesia saat ini) dalam proses ‘modernisasi’ merupakan fokus dari Pasar malam Sriwedari.
Karya Thukul tidak pernah lepas hingga menjadi puisi propaganda yang anonim. Puisinya sama sekali tidak memohon belas kasihan maupun uraian bertele-tele mengenai kaum miskin yang terhormat, dua hal yang biasanya mengurangi nilai puisi atau pun tulisan para seniman dari kelas sosial yang lebih tinggi, meskipun sebenarnya merekapun simpati pada masalah sosial serta ingin pula menyatakan solidaritasnya terhadap golongan yang mereka tulis. Pokok keprihatinan yang diungkapkan dalam karya Thukul tidak pernah anonim, serta tidak pernah berkembang menjadi ‘isu’. Dia selalu memberi nama, wajah, serta perasaan terhadap kemiskinan, ketertindasan serta diskriminasi sosial, hal mana hanya mungkin dilakukan oleh orang yang menulis dari dalam saja, tanpa kecendrungan menempatkan ketidak-adilan pada situasi yang acak ataupun menganggap penderitaan manusia semata-mata sebagai akibat saja dari ketidak sempurnaan perseorangan.
Dalam suatu surat terbuka kepada Emha Ainun Najib, Juli 1986, Thukul mengungkapkan kengeriannya atas ketidak adiilan dan penindasan yang sengaja dilakukan dalam masyarakat Indonesia: Aku jadi semakin yakin bahwa budaya bisu betul betul sudah meraksuk kedalam kehidupan bermasyarakat kita ! Ini gawat. Komunikasi direduksi jadi kebuntetan. Dialog seperti sengaja dihindarkan . Aku merasa kita ini dibodohkan. Dan dibutakan! Aku kini betul betul merasa bahwa kita ini betul-betul sedang dininabobokan. Oleh siapa ? Oleh masyarakat kita sendiri dan oleh perangkat-perangkat sistem yang ada dalam masyarakat kita sendiri ! Dan itu berlangsung dengan amat mekanis sekali. Persis mesin. Begitulah yang kurasakan mas…”
Sebelum kejadian yang membuatnya menulis surat tersebut, penjelesannya dalam hal hubungan antara penguasa dan mereka yang secara formal tidak berdaya dalam masyarakat sempat tercermin dalam puisinya : Pulanglah nang dan kota ini milik kalian misalnya, yang secara spesifik membahas hal tersebut. Akan tetapi, baru pada akhir 1986 dan 1987 lah puisinya memperlihatkan perkembangan mencolok dari tema yang secara provokatip dia nyatakan dalam suratnya kepada Emha tersebut. Perkembangan ini terwujud baik dalam puisinya maupun dalam perhatiannya yang semakin meningkat terhadap puisi ngamen serta keterlibatanya yang mencolok dalam berbagai kegiatan budaya Jawa. Contoh yang paling menarik dari perkembangan ini adalah sajaknya yang berjudul Peringatan yang muncul dalam dua versi. Versi 1986 berbunyi sebagai berikut:
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat berbisik-bisik
Ketika berbicara
Penguasa harus waspada
Dan belajar mendengar
Dan bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
Bila rakyat patuh patuh
Penguasa harus mencari sebabnya
Bila omongan penguasa tak ada yang membantah
Kebenaran pasti terancam
Bila usul ditolak
Kritik dilarang
Dengan dalih menggangu keamanan
Berarti penguasa sedang ketakutan
Kekerasan pasti digunakan
Maka berhati-hatilah
(1986)
Sedangkan versi 1987-nya berbunyi sebagai berikut:
Jika rakyat pergi
Kita penguasa berpidato
Kita harus hati hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat sembunyi
Dan berbisik bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Dan bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan menggangu keamanan
Maka hanya satu kata: lawan !
Beberapa sajak Thukul secara spesifik menyatakan keprihatinannya terhadap hubungan antara seni dan kepedulian sosial. Apa yang berharga dari puisiku mungkin merupakan penjelajahannya yang paling intensip terhadap hubungan ini. Judulnya merupakan merupakan bait yang diulang-ulang sepanjang sajak, terselip di antara baris-baris yang melukiskan betapa dahsyatnya penindasan dan ketidak adilan yang dialami keluarga berserta para tetangga mereka. Ayolah Warsini membahas hal yang sama, akan tetapi mendekatinya dari sudut yang lain, serta dalam nada berhubungan dengan dengan kegiatan kelompok teater kampungnya, menyoroti ketidak-yakinan dan ketakutan yang harus diatasi padar anggota kelompok untuk ikut terlibat :
Warsini !Warsini !
apa kamu sudah pulang kerja Warsini
apa kamu tak letih seharian berdiri di pabrik
ini sudah malam Warsini
apa celana dan kutangmu digeledah lagi
karena majikanmu curiga kamu membawa bungkusan moto
atau apakah kamu mampir di salon lagi
berapa utangmu minggu ini
apa kamu bingung hendak membagi gaji
ayolah warsini
kawan-kawan sudah datang
kita sudah berkumpul lagi disini
kita akan latihan drama lagi
ayolah Warsini
kamu nanti biar jadi mbok bodong
si Joko biar menjadi rentenirnya
jangan malu warsini
jangan takut dikatakan kemayu
kamu tak perlu minder dengan pekerjaanmu
biar kamu Cuma buruh
dan sd saja tak tamat
ayolah Warsini
mas Yanto juga tak sekolah Warsini
iapun cuma tukan plitur
Mami juga tak sekolah
kerjanya mbordir sapu tangan di rumah
Wahyuni juga tidak sekolah
bapaknya tak kuat bayar uang pangkal sma
Partini penjahit pakaian jadi
di perusahaan milik tante Lili
kita sama sama tak sekolah Warsini
ayolah warsini
ini sudah malam Warsini
ini malam minggu warsini
kami sudah menunggu di sini
Surakarta 9/1986
Sementara pengalaman setempat merupakan titik awal dari setiap pernyataan kritik sosialnya, sajak-sajaknya memiliki kemampuan untuk melibatkan secara sangat spontan, hati dan pikiran para peminat yang dipilihnya. Hal ini telah menjadi basis dalam menentukan pilihan estetiknya. Sajaknya disusun untuk pertunjukan kampung, seringkali berbentuk deklamasi dengan kalimat-kalimat pendek serta uraian yang langsung dan persis. Sering pula sebagimana hanya Ayolah Warsini, terdapat pengulangan baris-baris yang penting dalam bentuk syair. Hal ini sengaja dia pilih, dan ternyata sangat membantuk serta memberikan kekuatan luar biasa pada sajak-sajaknya ketika dibacakan pada pertunjukan.
Gaya bahasa puisi Thukul pun merupakan segi yang berhubungan dengan kesadaran para peminatnya, bagi siapa dia menulis. Beberapa dari sajaknya yang terkenal dia tulis dalam bahasa campuran Jawa- Indonesia yang secara instrinsik menarik, sebab merupakan suatu gejala delam proses menuju suatu kebudayaan ‘nasional’ Indonesia. Akan tetapi, latar belakang penggunaan bahasa campuran dalam sajak-sajak Thukul lebih karena merupakan bahasa sehari-hari. Hal ini menyebabkan sajaknya lebih mudah dicerna oleh penduduk kampung, serta lebih meningkatkan kemampuannya menyampaikan pikiran serta perasaan.
Pada hakikatnya, pilihan-pilihan estetik inilah yang memberi sajak Thukul ajakan tertentu bagi para peminatnya. Pilihan itu dilakukannya berdasarkan keyakinan bahwa bentuk keindahan haruslah sesuai dengan kenyataan sosial dimana suatu karya dilahirkan. Sepanjang praktek kreatipnya Thukul senantiasa dibimbing oleh keyakinan ini, sebagaimana terungkap melalui debat ‘sastra kontekstual’ oleh Arief Budiman dan lain-lain, bahwa tidak ada kriteria keindahan yang universal bagi seluruh karya seni. Nilai keindahan selalu ditentukan oleh pengalaman sosial yang bersangkutan.
Pilihan estetik yang demikian, pada hakikatnya merupakan pilihan politik yang dapat menggemakan sikap politik para seniman pelakunya. Pada dasarnya ini pulalah sebabnya Thukul berkali-kali harus berhadapan dengan polisi setempat serta penguasa daerah. Pak Lurah telah melarang membaca puisi dikampungnya sendiri. Salah satu kejadian ini telah dia singgung dalam surat terbukanya kepada Emha Ainun Najib:
Aku jadi ingat ketika diinterogasi di kantor polisi oleh intel bersepatu. Aku diinterogasi oleh pak intel gara-gara puisi yang kubacakan di panggung 17 Agustus di kampungku. Pak intel menyarankan kepadaku supaya aku tidak bikin puisi yang ‘tidak-tidak’. Kalau ada apa-apa kasihan orang tuamu, katanya lagi dengan lebih meyakinkan. “mbok kalau bikin puisi itu yang baik-baik saja mas…”
Thukul menyebut sebagian dari sajak-sajaknya sebagai ‘hits’ karena selalu disambut hangat oleh para penggemarnya ketika dibacakan keras-keras. Dua diantaranya adalah Darman, yang bercerita pengalaman pahit suatu keluarga desa yang mengadu nasib di kota , dan abang becak yang membahas kehidupan keluarganya sendiri serta berbagai pengaruh kebijakan pemerintah dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok pada perekonomian mereka. Deskripsinya tentang sajak-sajak tersebut sebagai ‘hits’ menunjukan bagaimana cara Thukul sendiri mengukur ‘keberhasilan’ artistik. Lebih dari itu, hal ini telah semakin memperkuat niatnya untuk bekerja dengan gaya tertentu diantara rakyat miskin dan awam, diluar jangkauan pranata resmi kebudayaan.
Kembalilah Widji Thukul
“Thukul, pulanglah!” seru Forum Sastra Surakarta, pertengahan tahun 2000. Tidak hanya di Solo, oleh para aktivis hak asasi dan sastrawan diteriakan juga seruan itu di Surabaya, Mojokerto, Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta. Seruan itu meluas ke pelbagai kota lain. Toh sampai kini Thukul tak pulang-pulang jua. Di manakah Thukul? Ada yang bilang, ia bersembunyi di Jerman, mungkin juga di Belanda atau di Australia. Ada juga yang bilang, ia di sekap di kepulauan seribu.
momok hiyong momok hiyong
berapa ember lagi
darah yang akan kau minum ?
(Momok Hiyong, 30 September 1996)
Jangan-jangan momok hiyong itu sudah mendoyani nyawa Widji Thukul sendiri. Jangan-jangan momok hiyong itu sudah meminum darah Widji Thukul. Kalau demikian, tak mungkin lagi Wiji thukul pulang. Dan kalau momok hiyong yang menelan nyawanya dan menghisapnya, susahlah kita mengurus kepergiannya. Percumalah upaya Kontras, percuma susah payah LSM, sia-sia jeritan rekan sastrawan. Momok hiyong itu tak mungkin di paksa mengaku, karena tak mungkin ia di temukan. Maklum ia hantu, roh jahat yang tak kasat mata, walau perbuatannya kelewat jahat. Jadi momok hiyong itu tak dapat di tangkap. Yang bisa dilihat dan ditangkap hanyalah kuasanya yang jahat. Untuk memahami kuasanya yang jahat itu. Sedikitnya sekarang anda sudah tahu, wujud nyata momok hiyong itu adalah kekuasaan yang menganggap manusia seperti tikus (Puisi Tikus, 6 Januari 1997 ): bisa dilindas,bisa diburai perutnya,dan dibuat berhamburan dagingnya. Jadi sebenarnya mudah juga mengalami momok hiyong itu. Rasakan ketika anda melihat orang-orang kecil dilindas habis seperti tikus dilindas kendaraanyang sedang lewat.
Tapi pada pokoknya momok hiyong itu roh, maka ia tak hidup terus. Kata wiji Thukul:
Momok hiyong momok hiyong
apakah ia abadi
dan tak bisa mati?
…..
begitu panjang riwayat bangsa tetapi hati ini kita baru pandai memuja
masa lalu, mengelus-elus borobudur mendewakan nilai semu
…..
( Biarkanlah Jiwamu Berlibur Hei Penyair, Mei 1985 )
…..
demi hutan air
ibu bumi kami
gagah berani
kakek nenek kami
menyerahkan riwayatnya
pada batang –batang pohon
sebesar seratus dekapan
pada sampan-sampan lincah
dari hulu ke hilir
memburu dada penjajah
bukan siapa-siapa
kakek nenek kamilah
yang merebut tanah air
tanyakan kepada yang mampu membaca
tanyakan kepada yang tak berpura-pura siapa…..
Dan besar, penguasa, raja dan pujangga. Sejarah hanyalah monumen yang mengingatkan akan kebesaran mereka .Sementara rakyat yang sesungguhnya adalah tulang punggung segala monumen peringatan kemegahan mereka, dilupakan begitu saja;
…..
dizaman kerja paksa rakyat membikin anyer panarukan
dengan air mata bangkainya
di zaman romusha jepang menanam kapas dengan
tangan rakyat kita
dalan dua perang dunia tak tahu apa-apa
pada upacara kemerdekaan bangsa kita selalu kita sebut
nama-nama agung
tetapi sejarahtahu berapa juta ember darah siapa
ditenggak sudah hidup hari ini
…..
(Catatan, tanpa tahun)
aku bukan artis pembuat berita
tapi aku memang selalu kabar buruk untuk penguasa
puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan berdesakan
mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk sepi
ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka
aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa
(Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa, 18 Juni 1997)
Pelawan Kelupaan
Perjuangan mereka ini seakan sia-sia, namun sekurang-kurangnya mereka inilah kelompok manusia yang mau melawan lupa atau kelupaan, dan membuat sejarah ini tidak menjadi lupa.
Orang pertama yang melawan momok hiyong, biang kerok pelupaan itu, adalah Si Pon, istri Wiji Thukul sendiri. Si Pon punya pas fotoThukul. Kata SiPon, menunggu itu menyakitkan. Kalau ia lagi rindu suaminya, ia pandangi foto itu, dan ia merasa terhiburkan. Lalu ia minta seorang pelukis untuk melukiskan foto Thukul di atas kanvas. Untuk itu ia membayar Rp 110.000. “ Saya lukiskan foto suami saya, karena saya yakin, suami saya masih ada,” kata Sipon. Si Pon sering memandangi foto itu, dan ia merasa Wiji Thukul masih hidup, karena ia masih mengharap kedatangannya. Seperti Si Pon, kedua anaknya, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah, juga tak berputus asa mengharap kedatangan bapaknya. Tiap kali Si Pon diundang Kontras ke Jakarta untuk bersama-sama menanyakan dan mengusut kasus orang hilang di negri ini, kedua anaknya itu selalu berharap, bahwa ia akan membawa pulang bapaknya yang hilang. “Ibu boleh pergi. Tapi jangan lupa pulangnya, ibu harus membawa bapak,” pesan mereka. “Di Jakarta saya menginap di hotel lumayan megah, di dekat kantor Kontras. Malam hari saya malah tidak dapat tidur, padahal saya tidur di kasur yang enak. Soalnya,saya teringat anak –anak yang tidur dirumah kami yang jelek dan miskin, “tutur Si pon. Sudah berkali-kali Sipon pergi ke Solo ke Jakarta membawa pulang harapan anak-anaknya, toh ia tidak menemukan Wiji Thukul. Di rumah, Si Pon masih mempunyai rekaman suara Wiji Thukul, ketika ia ngamen membacakan puisi-puisinya. Kedua anaknya, Wani dan Fajar, sering menyetel kaset itu pada tape recorder mereka yang sudah butut.
“Kalau merasa lupa akan suara bapaknya, Wani lalu mendengarkan kembali suara bapaknya di dalam kaset itu, “ tutur Si Pon. Si Pon tidak pernah berpikir, kaset itu akan rusak, jika diputar terus menerus . Padahal hanya kaset itu satu-satunyayang ia punya, di mana ia dan anak-anaknya dapat mendengarkan suara Wiji Thukul.Adik Wani, Fajar Merah juga suka mendengarkan kaset itu. Hanya siang itu, ketika Si pon memutar kaset tersebut di depan tamunya, Fajar menangis dan marah-marah, minta supaya kaset itu tidak disetel. “Mungkin ia jengkel dan marah. Sudah sering orang datang kesini, entah wartawan entah seniman entah rekan LSM,dan ia mengharap orang-orang itu bisa membantu membawa pulang bapaknya. Tapi sampai sekarang tak seorang pun dapat membawa bapaknya pulang. Ia jadi bosan dan marah, karena itu melarang orang mendengarkan suara bapaknya,” kata Si Pon.Bu atmo (68 tahun), ibu Si Pon, yang tinggal di rumah yang sama, bercerita, sering wani maupun fajar bertanya, ”Ora Ngana, jane bapak ki ning endi to, mbah (sebenarnya, bapak ini ke man to, nek). Belum lama ini, seminggu lamanya, menjelang tidur wani selalu menangis, dan bertanya, di mana bapaknya. Bu Atmo jadi sedih, lalu bertanya, “Napa tasih napa mboten to mas, Thukul niku ? (Apakah Thukul itu masih ada atau sudah tidak ada ya Mas?).” Bu Atmo teguh berharap, Thukul menantunya itu, masih hidup dan akan kembali. Ia pernah bermimpi, suatu saat Thukul pulang, memluk si pon, lalu bermain dan bergurau dengan Fajar. Mimpi ini menggembirakan, tapi bagi Bu Atmo, justru menyedihkan. “Mergi, miturut tiyang sepuh, ten npimpekaken tiyang wangsul niku malah tiyange mati (sebab, menurut orang-orang tua, jika kita mengimpikan seseorang yang sedang kembali pulang, orang itu malah mati), ”katanya. Si Pon juga pernah bermimpui buruk. Ia seperti melihat film kekerasan gaya Amerika di televisi. Ada gua tertutup, ke gua tersebut tampak sebuah jembatan mengerikan. Dan dari jembatan itu Si Pon melihat, Thukul disekap dalam gua, lalu di siksa. Ia juga pernah bermimpi , Thukul terbelenggu dalam ruang yang sangat gelap. Si Pon ngeri melihat hal itu. Namun ia malah menafsirkan mimpi itu secara kebalikan nya. Justru karena dalam mimpi Thukul di sekap dan terbelenggu, maka dalam kenyataan ia bebas. “Dengan keyakinan seperti itu, saya menjadi lega, dan yakin Thukul masih hidup dan tidak terjadi peristiwa apa-apa padanya,” tutur Si Pon.
Thukul akan kembali
gerimis menderas tengah malam ini
dingin dari telapak kaki hingga ke sendi-dendi
dalam sunyi hati menggigit lagi
ingat
saat pergi
dan pipi kananmu
kucium
tak sempat mencium anak-anak
khawatir
membangunkan tidurnya (terlalu nyenyak)
bertanya apa mereka saat terjaga
akau tak ada (seminggu sudah itu
sebulan sesudah itu
dan ternyata lebih panjang dari dari yang kalian harapkan)
dada mengepal perasaan
waktu itu
cuma terbisik beberapa patah kata
di depan pintu
kaulepas aku
meski matamu tak terima
karena waktu sempit
aku harus gesit
genap ½ tahun aku pergi
aku masih bisa merasakan
bergegasnya pukulan jantung
dan langkahku
karena penguasa fasis
yang gelap mata
aku pasti pulang
mungkin tengah malam ini
mungkin subuh hari
pasti
dan mungkin
tapi jangan
kau tunggu
aku pasti pulang dan pasti pergi lagi
karena hak telah dikoyak-koyak
tidak di kampus
tidak di pabrik
tidak di pengadilan
bahkan rumah pun mereka masuki
muka kita sudah diinjak
kalau kelak anak-anak bertanya mengapa
dan aku jarang pulang
katakan ayahmu tak ingin jadi pahlawan
tapi di paksa menjadi penjahat
oleh penguasa
yang sewenang-wenang
kalau mereka bertanya
“apa yang kau cari?”
jawab dan katakan
dia pergi untuk merampok
haknya yang dirampas dan dicuri
(catatan, 15 Januari 1997)
Nasihat ayahnya tersebut selalu terngiang-ngiang ditelinga Si Pon. Karenanya ia tidak mau menyerah. Pernah ia diintrogasi di Komando Resor Militer Jebres. Ia ditanya tentang Thukul dan segala aktivitasnya, lebih sehubungan dengan demonstrasi buruh. Si Pon menjawab “saya tidak tahu”. Petugas-petugas keamanan bergantian memaksa dia menjawab seperti yang mereka inginkan. Si Pon tetap kukuh pada jawabannya. Mungkin jengkel, seorang petugas memukul Si Pon dengan kenop. Pemeriksaan terus berjalan hampir empat jam. Waktu itu Si Pon membawa Fajar yang masih balita dalam gendongannya. Karena ia sudah tidak tahan, ia menggigit punggung Fajar sampai ia kesakitan dan menangis sejadi-jadinya. Dengan cara ini, ia diperkenankan pulang dan terbebas dari intrograsi yang melelahkan.
Betapa pun tegar hatinya, Si Pon pernah luluh dan sedih, apalagi bila merasakan kerinduan kedua anaknya akan bapaknya. Pernah adik Wiji, Wahyu namanya, datang dari Jakarta, dan menginap semalam dirumahnya. Dan Wahyu membelikan mainan untuk Fajar Merah. Fajar senang sekali dan bilang pada wahyu, “Aja mulih, lek, kowe nggo ganti bapak wae (jangan pulang, paman, kamu ganti bapak saja).” Hati saya hancur mendengar rengekan itu. Saya merasa, betapa anak saya benar-benar merindukan bapaknya,” kata si Pon .
Si Pon juga sedih melihat anaknya harus disingkiri hanya karena mereka adalah anak wiji Thukul, yang dianggap penjahat negaraitu. Ia melihat, wani suka menulis-nulis.Kalau ia tidak bisa tidur, ia pasti bangun lalu menulis. Pernah si Pon mencuri-curi membaca rilisan Wani. Dalam salah satu tulisannya Wani mengeluh kurang lebih begini : Apa toh politik itu ? Saya tidak mengerti politik, tapi saya kira politik itu kejam, dan orang tua itu sungguh egois, saya punya sahabat, bapaknya Golkar. Bapak itu melarang anaknya bermain dengan saya. Kalau kesini, anak itu harus mencuri-curi. “Saya juga sering melihat wani tiba-tiba menangis. Saya meraba-raba, mungkinkah ia salah paham dengan saya ? Saya tidak tahu. Mungkin ia teringat bapaknya, dan sedih akan nasibnya,” kata Si Pon. Tangis Wani di waktu malam itu mengingatkan Si Pon akan Thukul. Pernah Thukul tiba-tiba menangis. Ternyata Thukul sedang menulis sajak tentang penderitaan penduduk Cimacan yang di rampas tanahnya dan hanya mendapat ganti Rp 30 (tiga puluh rupiah!) per meter:
bulan malam membuka mataku
merambati wuwungan rumah-rumah bambu
yang rendah dan yang miring
di muka parit yang suka banjir
membayanglah masa depan
rumah-rumah bambu
yang rendah dan yang miring
lentera minyak gemetar merabamu
penggembara oh penggembara yang nyenyak
bulan malam menggigit batinku
mulutnya lembut seperti pendeta tua
menggulurkan lontaran nasibmu
o tanah-tanah yang segera rata
berubahlah menjadi pabrik-pabriknya
kita pun kembali bergerak seperti jamur
liar di pinggir-pinggir kali
menjarah tanah-tanah kosong
mencari tanah pemukiman disini
beranak cucu melahirkan anak suku-suku terasing
yang akrab derngan peluh dan matahari
di tanah negri ini milikmu cuma tanah air
(Di Tanah Negeri ini Milikmu Cuma Tanah Air, tanpa tahun)
Seperti Wani, Fajar juga tidak suka dan nyaris membenci polisi. Pernah Si Pon mengajak kejalan Slamet Riyadi, dan melihat kebetulan polisi sedang latihan. “Untuk apa polisi latihan menembak?” tanya Fajar. Dan sebelum Si Pon menjawab, anak itu sudah menjawab sendiri, “Ternyata untuk menembaki mahasiswa, ya bu?” Maklum, menjelang Reformasi, Fajar sering melihat televisi, di mana polisi mengacung-acungkan senapannya ke arah mahasiswa yang berdemonstrasi. Pernah juga Si Pon dan fajar pergi ke pasar Gedhe, dan ketemu seorang lelaki Lelaki itu ternyata adalah polisi, yang pernah dilihat Fajar. Fajar membaca nama yang tertera di dada baju seragam polisi itu. Diam-diam Fajar menghapalkan nama itu.
Ketika ketemu kembali di pasar Gedhe, Fajat melihat polisi tersebut tidak pakai seragam. Toh Fajar masih mengingatnya dan bilang pada ibunya, “Ternyata dia lebih tampan dan bagus kalau tidak memakai seragam polisi, ya bu,” Anak kecil itu tidak tahu apa-apa tentang kekerasan dan politik. Ia hanya tahu, ia membutuhkan bapaknya,dan bapak yang dibutuhkan itu ternyata di ambi polisi, dan sampai sekarang belum dikembalikan. Pantas kalau ia jadi benci polisi, sampai seragamnya pun ia tidak suka lagi. “Lare niki nek kaleh polisi pancen benci (Terhadap polisi anak ini memang benci),” kata Bu Atmo tentang cucunya. Betapa kesewenang-wenangan telah menanamkan rasa benci pada anak yang belum waktunya tahu tentang benci-membenci. Ada juga kebiasaan aneh dan lucu pada Fajar, sejak bapaknya diculik. Tiap kali anak itubertemu dengan aparat yang berpakaian loreng, ia selalu berusaha mendekatinya, lalu melipat tangannya, dan mengucap kata-kata, “Jambore-jambore, bar (Jambore-jambore, selesai).” “Kowe ike ngomong apa to, le ? (kamu ini bicara apa, nak),” begitu tanya Si Pon mau pun Bu Atmo tiap kali mendengar Fajar bergumam saat ia melihat orang berpakaian loreng. Memang ibu dan neneknya sampai sekarang pun tak mengerti, apa maksud kata-kata itu, dan Fajar pun tak mau menerangkannya. Anak ini seperti punya mantra sendiri menghadapi mereka yang berpakaian tentara. Mantra singkat itu mungkin menyimpan sikap yang dipunyai ayahnya:
…..
kamu memang punya tank
tapi salah besar kamu
kalau karena itu
aku lantas manut
andai benar
ada kehidupan lagi nanti
setelah kehidupan ini
maka akan kuceritakan kepada semua makhluk
bahwa sepanjang umurmu dulu
telah kuletakkan rasa takut itu ditumitku
dan kuhabiskan hidupku
untuk menentangmu
hei penguasa zalim
(Puisi sikap, 24 Januari 1997)
jambore-jambore, bar
tankmu, bedilmu, seragammu
kau kira aku takut padamu,
hei momok hiyong !
Siapa tahu, mungkin mantra itulah yang terkandung dalam ucapan Fajar, setiap kali ia takut berhadapan dengan orang yang berpakaian loreng, yang baginya adalah momok hiyong?
Pengharapan yang teguh
Hanya ada satu kata; LAWAN ! itulah pesan suaminya, Wiji Thukul, bagi siapa saja yang jadi korban kekejaman momok hiyong. Dan Si Pon mempraktekan semboyan itu dalam hidupnya.
Karena ia mau tetap bertahan hidup, tak mau menyerah, kendati ia perempuan yang miskin, lemah, dan tak berdaya. Dan sikap ini ditunjukannya dengan kerja keras. Pagi malam ia menjahit. Tempat ia menjahit bernama “Nganti Fashion”. Nama yang mengambil nama anaknya perempuan ini adalah tinggalan suaminya, Wiji Thukul. Di tempat itu, Si Pon menerima jahitan, tapi juga menjual hasil jahitan. Satu celana hasil jahitannya. Berharga Rp. 8.000, dipasar ia menjualnya Rp 9.000. lumayan jika ada yang menjahitkan padanya, ia mendapat uang tambahan. Si Pon seorang penjahit. Maka sesungguhnya ia bisa menjahit sendiri bajunya. Namun sampai sekarang ia tetap mengharapkan baju yang dijanjikan Wiji Thukul. Katanya, baju itu akan segera datang, tapi sampai sekarang mengapa belum juga ia menerimanya.
“sampai sekarang baju itu belum saya terima. Mungkin baju itu masih dibawa Thukul, ”kata si Pon. Si pon tidak mau menyerah. Ia tetap mengharap, nanti suatu saat Thukul pulang, dan membawa baju loak sobek pundaknya, yang dijanjikannya. Sekuat itu harapan Si pon. Dan dengan harapan itulah Si Pon diam-diam mengajari kita untuk tidak mau mengalah pada momok hiyong. Dengan harapan yang diwujudkan secara nyata dalam hidup sehari-hari itulah Si Pon mengajak kita untuk melawan momok hiyong yang sewenang-wenang dengan kuasanya, yang ternyata memakan korban orang-orang tak bersalah, seperti SiPon sendiri dan kedua anaknya. Dengan harapan itu Si Pon mengajak kita untuk berjuang melawan momok hiyong yang suka menutupi dan melupakan kejahatannya, yang telah menghilangkan orang tanpa jejak apa pun. Dalam harapan Si Pon itulah tampak suatu perjuangan melawan momok hiyong, roh melik nggendhong lali yang telah menyejarah secara nyata dalam riwayat negara ini.